PETUNJUK-PETUNJUK MAHKAMAH AGUNG MENGENAI
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 9 TAHUN 1975
MAHKAMAH AGUNG R.I.
JLN. LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR 1
J A K A R T A
Nomor M.A./Pemb./0807/1975.
Kepada
Yth. Para Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi
dan para Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri.
SELURUH INDONESIA
PETUNJUK-PETUNJUK MAHKAMAH AGUNG MENGENAI PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 9 TAHUN 1975
Sehubungan dengan telah ditetapkannya U.U. No. 1 tahun 1974 dan P.P. No. 9 tahun 1975
sebagai peraturan pelaksanaannya dan yang akan diperlakukan secara efektif mulai tanggal 1 Oktober
1975 yang akan datang, maka demi keseragaman dalam pelaksanaan dan tafsiran U.U. dan P.P.
tersebut dengan ini Mahkamah Agung memberikan petunjuk-petunjuk pedoman pelaksanaannya
sebagai berikut :
1. U.U. No. 1 tahun 1974 sebagai U.U. Perkawinan Nasional bermaksud mengadakan unifikasi
dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebhinekaan (nuances) yang masih harus
dipertahankan karena masih berlakunya hukum perdata positip yang beraneka ragam dalam
masyarakat perhatikan antara lain pasal 66 No. 1 tahun 1974 jo. pasal 47 P.P. No. 9 tahun 1975
yang tidak mencabut seluruh ketentuan-ketentuan mengenai hukum perkawinan dalam K.U.H.
Perdata (B.W.), Ordonnansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933-74), Perkawinan campuran
(S. 1898-158), melainkan hanya sejauh telah diatur dalam U.U. ini.
2. Karena U.U. No. 1 tahun 1974 tidak mencabut berlakunya perundang- undangan yang mengatur
Pengadilan Agama, maka U.U. organik yang mengatur tentang pengadilan-pengadilan
Agama/Mahkamah Syariah/Pengadilan Kadhi berdasarkan U.U. No. 1 tahun 1951 pasal 1 ayat 2
sub a dan b (dasar berlakunya Pengadilan-Pengadilan tersebut) masih tetap berlaku, khususnya
mengenai hal-hal yang mengatur kempetensi masing-masing badan Pengadilan seperti
ditentukan dalam U.U. organik berikut.
2.1. Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, S. 1882-152 jo S. 1937-1169; 610 dan S. 1940-3
pasal 2a.
2.2. Pengadilan Kadhi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, S 1937-638 jo. S 1937-
639 pasal 3.
2.3. Mahkamah Syariah-P.P. No. 45 tahun 1957 pasal 4 dengan tambahan dan penyesuaian
seperti diatur dalam U.U. No. 1 tahun 1974 dan P.P. No. 9 tahun 1975.
3. U.U. No. 1 tahun 1974 dalam pasal 67 menemukan bahwa pelaksanaannya secara efektif lebih
lanjut akan diatur dengan P.P. dan hal-hal dalam U.U. itu memerlukan pengaturan pelaksanaan
yang diatur lebih lanjut dengan P.P. ini berarti bahwa tidak seluruh materi yang tercantum dalam
U.U. No. 1 tahun 1974 sudah dapat diperlakukan oleh Pengadilan, tetapi harus menunggu
datangnya peraturan pelaksanaan yang harus diatur dengan P.P. tanggal 1 April 1975 telah
diterapkan P.P. No. 9 tahun 1975 yang mengatur hal-hal apa dari U.U. No. 1 tahun 1974 yang
susah dapat dilaksanakan.
4. Dari ketentuan-ketentuan dalam P.P. ini dapat dibaca bahwa hal-hal mengenai :
Pencatatan perkawinan, tatacara perkawinan, akte perkawinan, tatacara perceraian, pembatalan
perkawinan waktu tunggu dan beristeri lebih dari seorang saja yang telah mendapat pengaturan,
sehingga telah dapat diperlakukan secara efektif menurut ketentuan-ketentuan dalam P.P.
tersebut. Mengenai hal-hal lainnya yang meskipun tercantum dalam U.U. No. 1 tahun 1974
yakni tentang:
Harta benda dalam perkawinan, kedudukan anak hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
serta perwalian, ternyata tidak diatur dalam P.P. tersebut karenanya belum dapat diperlakukan
secara efektif dan dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan ketentuan
hukum dan perundang-undangan lama.
5. Dengan demikian maka terhitung tanggal 1 Oktober 1975, Pengadilan Agama yang berwenang
memeriksa perkara-perkara yang berkenaan dengan hal-hal yang tersebut dalam P.P. No. 9 tahun
1975 terhadap mereka yang beragama Islam, tanpa memandang golongan penduduknya.
6. Adalah wewenang Pengadilan Negeri sebagai peradilan Umum untuk memeriksa :
6.1. Mengenai perkara-perkara antara mereka yang tidak beragama Islam yang berbeda
agamanya dan berlainan kewarganegaraan ;
6.2. Mengenai hal-hal yang tidak diatur dalam P.P. tersebut sekalipun terhadap mereka yang
beragama Islam
karena menurut U.U. No. 14 tahun 1970 pengadilan dalam lingkungan peradilan umumlah yang
memeriksa semua sengketa perdata dan dalam mengadili sengketa, perdata mana menurut
hukum yang berlaku masih diterapkan hukum perdata yang berlainan, kadang-kadang hukum
adat hukum B.W. hukum antar golongan atau hukum perdata Internasional.
7. Mengingat hal-hal tersebut diatas, maka ada kemungkinan bahwa akan terjadi sengketa
mengenai kewenangan mengadili (jurisdictiegeschil) karena misalnya Pengadilan Negeri
maupun Pengadilan Agama sama-sama merasa berwenang atau tidak berwenang memeriksa
suatu perkara, dalam hal mana maka menurut pasal 48 U.U. No. 13 tahun 1965 Mahkamah
Agunglah yang akan memutus dalam Tingkat pertama dan terakhir.
8. Sesuai dengan ketentuan (dalam pasal 63 ayat (2) U.U. No. 1 tahun 1974, dimana setiap
keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum, maka dalam P.P No. 9 tahun
1975 pasal 36 dan 38 ditentukan, bahwa putusan mengenai perceraian pembatalan perkawinan
yang telah berkekuatan tetap dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri.
9. Dalam memberikan pengukuhan ini Pengadilan Negeri hendaknya memperhatikan hal-hal
berikut:
9.1. Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh Pengadilan Negeri ialah bahwa tidak boleh
menilai secara meteriil terhadap putusan Pengadilan Agama ya’ni:
a. tidak boleh melakukan pemeriksaan ulangan terhadap putusan Pengadilan Agama (lihat
penjelasan P.P. No. 9 tahun 1975 pasal 36)
b. tidak boleh menilai kebenaran isi putusan Pengadilan Agama.
9.2. Hal-hal yang boleh dilakukan Pengadilan Negeri ialah mengadakan penilaian secara formil
tentang kewenangan-kewenangan Pengadilan Agama ya’ni:
a. meneliti apakah Pengadilan Agama tidak melampauhi wewenang yang diberikan U.U.
kepadanya, misalnya memutuskan perkara-perkara mengenai hal-hal yang tidak diatur
dalam P.P. No. 9 tahun 1975.
b. menilai apakah Pengadilan Agama telah menerapkan hukum perkawinan seperti diatur
dalam U.U. No.1 tahun 1974 dan P.P. No.9 tahun 1975
c. meneliti apakah mengenai susunannya dan kedudukan Pengadilannya (kompetensi
relatifnya) sudah benar.
10. Apabila setelah dinilai secara formil ternyata putusan Pengadialan Agama sudah tepat dan
bergerak dalam lingkungan kewenangannya, maka Pengadilan Negeri memberikan pengukuhan,
akan tetapi apabila terdapat kekeliruan karena melampaui batas kewenangannya, putusan
Pengadilan Agama itu tidak dapat dikukuhkan dan Pengadilan Negeri dengan Penetapan yang
berisi alasan-alasan hukumannya menolak pengukuhan tersebut.
11. Dalam hal Pengadilan Negeri menolak pengukuhan tersebut, maka salinan Penetapan itu
dikirimkan kepada Mahkamah Agung, yang berdasarkan wewenangnya menurut pasal 10 U.U.
No. 14 tahun 1970 dan pasal 47 U.U. No.13 tahun 1965 sebagai pengawas tertinggi dari semua
lingkungan peradilan, dapat mengambil tindakan-tindakan penertiban seperlunya. Bilamana
dianggap perlu, salinan penetapan tersebut dapat juga dikirimkan kepada Jaksa Agung untuk
dimintakan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung.
12. Bersama ini dilampirkan juga keterangan/penjelasan beberapa pasal dari U.U. No. 1 tahun 1974
dan P.P. No. 9 tahun 1975 yang menyangkut tugas pengadilan yang perlu mendapat perhatian
Saudara-saudara.
13. Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung ini mungkin belum lengkap, dan apabila dalam praktek
nantinya dijumpai persoalan-persoalan yang belum tercakup dalam petunjuk ini atau dalam
kasus-kasus tertentu putusan Pengadilan menyimpang dari petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung
ini, maka putusan itu harus memuat pertimbangan-pertimbangan secara jelas.
Jakarta, 20 Agustus 1975.
MAHKAMAH AGUNG R.I.
Ketua,
ttd.
PROF. OEMAR SENO ADJI S.H.